Audit kinerja merupakan salah
satu dari tiga jenis audit (audit keuangan, audit kinerja, dan audit dengan
tujuan tertentu. I Gusti Agung Rai (2010, 31) menyatakan bahwa “audit kinerja
adalah audit yang dilakukan secara objektif dan sistematis terhadap berbagai
macam bukti untuk menilai kinerja entitas yang diaudit dalam hal ekonomi,
efisiensi, dan efektivitas dengan tujuan untuk memperbaiki kinerja dan entitas
yang diaudit dan meningkatkan akuntabilitas publik.”
Pasal 4 ayat (3) UU No.15 Tahun
2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
mendefinisikan audit kinerja sebagai audit atas pengelolaan keuangan negara
yang terdiri atas audit aspek ekonomi dan efisiensi serta audit aspek
efektivitas.
Leo Herbert dalam bukunya Auditing the Performance of Management
memberikan gambaran bahwa audit kinerja mengalami proses, demikian juga dengan
pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan. Sebelum mencapai bentuknya, audit
kinerja mengalami berbagai perubahan: dimulai dari financial statement auditing (audit laporan keuangan) pada tahun
1930, management auditing (audit
manajemen) pada tahun 1950, dan program
auditing (audit program) pada tahun 1970, akhirnya pada tahun 1971, Elmer
B.Staat untuk pertama kali memperkenalkan performance
audit (audit kinerja).
Audit kinerja merupakan salah
satu upaya mewujudkan akuntabilitas pemerintah dalam lingkup akuntabilitas
kinerja. Selain audit kinerja, kita juga mengenal adanya audit kepatuhan (compliance audit) dalam upaya mewujudkan
akuntabilitas kinerja pemerintah yang bertujuan untuk mengarahkan kegiatan
tetap dalam aturan yang berlaku.
Audit kinerja memiliki kaitan dengan audit
operasional (operational audit), ketika
audit kinerja memfokuskan diri pada 3E (ekonomis, efisien, dan efektif), maka
audit operasional akan memfokuskan diri pada sumber daya yang digunakan dan
output yang dihasilkan dalam operasi/kegiatan yang dilakukan.
Membicarakan sejarah audit kinerja sektor publik di
Indonesia berarti membicarakan sejarah lembaga pengawasan internal pemerintah.
Lembaga pengawasan
ini dimulai sejak sebelum era kemerdekaan. Besluit nomor 44 tanggal 31 Oktober
1936 menyatakan bahwa Djawatan Akuntan Negara (DAN) / Regering Accountantdienst bertugas melakukan penelitian terhadap
pembukuan dari berbagai perusahaan negara dan jawatan tertentu dan dapat
dikatakan bahwa aparat pengawasan pertama di Indonesia adalah DAN. Secara structural,
DAN yang bertugas mengawasi pengelolaan perusahaan negara berada di bawah
Thesauri Jenderal pada Kementerian Keuangan.
Keadaan
berubah ketika disahkannya PP Nomor 9 tahun 1961 tentang Instruksi bagi Kepala
Djawatan Akuntan Negara (DAN). Kedudukan DAN dilepas dari Thesauri Jenderal dan
ditingkatkan kedudukannya langsung di bawah Menteri Keuangan. DAN merupakan
alat pemerintah yang bertugas melakukan semua pekerjaan akuntan bagi pemerintah
atas semua departemen, jawatan, dan instansi di bawah kekuasaannya. Sementara
itu fungsi pengawasan anggaran dilaksanakan oleh Thesauri Jenderal. Selanjutnya
dengan Keputusan Presiden Nomor 239 Tahun 1966 dibentuklah Direktorat Djendral
Pengawasan Keuangan Negara (DDPKN) pada Departemen Keuangan. Tugas DDPKN
(dikenal kemudian sebagai DJPKN - Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan
Negara) meliputi pengawasan anggaran dan pengawasan badan usaha/jawatan, yang
semula menjadi tugas DAN dan Thesauri Jenderal. DJPKN mempunyai tugas
melaksanakan pengawasan seluruh pelaksanaan anggaran negara, anggaran daerah,
dan badan usaha milik negara/daerah. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 70
Tahun 1971 ini, khusus pada Departemen Keuangan, tugas Inspektorat Jendral
dalam bidang pengawasan keuangan negara dilakukan oleh DJPKN.
Dengan
diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tanggal 30 Mei 1983. DJPKN
ditransformasikan menjadi BPKP, sebuah lembaga pemerintah non departemen (LPND)
yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Salah satu
pertimbangan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tentang BPKP
adalah diperlukannya badan atau lembaga pengawasan yang dapat melaksanakan
fungsinya secara leluasa tanpa mengalami kemungkinan hambatan dari unit
organisasi pemerintah yang menjadi obyek pemeriksaannya. Keputusan Presiden
Nomor 31 Tahun 1983 tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah telah meletakkan
struktur organisasi BPKP sesuai dengan proporsinya dalam konstelasi
lembaga-lembaga Pemerintah yang ada. BPKP dengan kedudukannya yang terlepas
dari semua departemen atau lembaga sudah barang tentu dapat melaksanakan
fungsinya secara lebih baik dan obyektif.
Tahun
2001 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah,terakhir dengan Peraturan
Presiden No 64 tahun 2005. Dalam Pasal 52 disebutkan, BPKP mempunyai tugas
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendekatan
yang dilakukan BPKP diarahkan lebih bersifat preventif atau pembinaan dan tidak
sepenuhnya audit atau represif. Kegiatan sosialisasi, asistensi atau
pendampingan, dan evaluasi merupakan kegiatan yang mulai digeluti BPKP.
Sedangkan audit investigatif dilakukan dalam membantu aparat penegak hukum
untuk menghitung kerugian keuangan negara.
Pada
masa reformasi ini BPKP banyak mengadakan Memorandum of Understanding (MoU)
atau Nota Kesepahaman dengan pemda dan departemen/lembaga sebagai mitra kerja
BPKP. MoU tersebut pada umumnya membantu mitra kerja untuk meningkatkan
kinerjanya dalam rangka mencapai good governance.
Sesuai
arahan Presiden RI tanggal 11 Desember 2006, BPKP melakukan reposisi dan
revitalisasi fungsi yang kedua kalinya. Reposisi dan revitalisasi BPKP diikuti
dengan penajaman visi, misi, dan strategi. Visi BPKP yang baru adalah
"Auditor Intern Pemerintah yang Proaktif dan Terpercaya dalam
Mentransformasikan Manajemen Pemerintahan Menuju Pemerintahan yang Baik dan
Bersih".
Dengan
visi ini, BPKP menegaskan akan tugas pokoknya pada pengembangan fungsi
preventif. Hasil pengawasan preventif (pencegahan) dijadikan model sistem
manajemen dalam rangka kegiatan yang bersifat pre-emptive. Apabila setelah
hasil pengawasan preventif dianalisis terdapat indikasi perlunya audit yang
mendalam, dilakukan pengawasan represif non justisia. Pengawasan represif non
justisia digunakan sebagai dasar untuk membangun sistem manajemen pemerintah
yang lebih baik untuk mencegah moral hazard atau potensi penyimpangan (fraud).
Tugas perbantuan kepada penyidik POLRI, Kejaksaan dan KPK, sebagai amanah untuk
menuntaskan penanganan TPK guna memberikan efek deterrent represif justisia,
sehingga juga sebagai fungsi pengawalan atas kerugian keuangan negara untuk
dapat mengoptimalkan pengembalian keuangan negara.
Sementara
itu, berdiri pula aparat pengawas internal di masing-masing kementerian yang
disebut Inspektorat Jenderal (Itjen) yang bertugas menyelenggarakan fungsi pengawasan dan pemeriksaan atas pelaksanaan kegiatan administrasi umum, keuangan, dan kinerja; pelaporan hasil pemeriksaan atas pelaksanaan, serta pemberian usulan tindak lanjut temuan pengawasan dan pemeriksaan; pemantauan dan evaluasi atas tindak lanjut temuan pengawasan dan pemeriksaan; serta pengembangan dan penyempurnaan sistem pengawasan.
Sumber:
1.
Rai,
I Gusti Agung. 2010. Audit Kinerja pada
Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar