Senin, 18 Februari 2013

SEJARAH AUDIT KINERJA SEKTOR PEMERINTAH DI INDONESIA


Audit kinerja merupakan salah satu dari tiga jenis audit (audit keuangan, audit kinerja, dan audit dengan tujuan tertentu. I Gusti Agung Rai (2010, 31) menyatakan bahwa “audit kinerja adalah audit yang dilakukan secara objektif dan sistematis terhadap berbagai macam bukti untuk menilai kinerja entitas yang diaudit dalam hal ekonomi, efisiensi, dan efektivitas dengan tujuan untuk memperbaiki kinerja dan entitas yang diaudit dan meningkatkan akuntabilitas publik.”
                      
Pasal 4 ayat (3) UU No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara mendefinisikan audit kinerja sebagai audit atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas audit aspek ekonomi dan efisiensi serta audit aspek efektivitas.

Leo Herbert dalam bukunya Auditing the Performance of Management memberikan gambaran bahwa audit kinerja mengalami proses, demikian juga dengan pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan. Sebelum mencapai bentuknya, audit kinerja mengalami berbagai perubahan: dimulai dari financial statement auditing (audit laporan keuangan) pada tahun 1930, management auditing (audit manajemen) pada tahun 1950, dan program auditing (audit program) pada tahun 1970, akhirnya pada tahun 1971, Elmer B.Staat untuk pertama kali memperkenalkan performance audit (audit kinerja).

Audit kinerja merupakan salah satu upaya mewujudkan akuntabilitas pemerintah dalam lingkup akuntabilitas kinerja. Selain audit kinerja, kita juga mengenal adanya audit kepatuhan (compliance audit) dalam upaya mewujudkan akuntabilitas kinerja pemerintah yang bertujuan untuk mengarahkan kegiatan tetap dalam aturan yang berlaku.

Audit kinerja memiliki kaitan dengan audit operasional (operational audit), ketika audit kinerja memfokuskan diri pada 3E (ekonomis, efisien, dan efektif), maka audit operasional akan memfokuskan diri pada sumber daya yang digunakan dan output yang dihasilkan dalam operasi/kegiatan yang dilakukan. 

Membicarakan sejarah audit kinerja sektor publik di Indonesia berarti membicarakan sejarah lembaga pengawasan internal pemerintah.
Lembaga pengawasan ini dimulai sejak sebelum era kemerdekaan. Besluit nomor 44 tanggal 31 Oktober 1936 menyatakan bahwa Djawatan Akuntan Negara (DAN) / Regering Accountantdienst bertugas melakukan penelitian terhadap pembukuan dari berbagai perusahaan negara dan jawatan tertentu dan dapat dikatakan bahwa aparat pengawasan pertama di Indonesia adalah DAN. Secara structural, DAN yang bertugas mengawasi pengelolaan perusahaan negara berada di bawah Thesauri Jenderal pada Kementerian Keuangan.
Keadaan berubah ketika disahkannya PP Nomor 9 tahun 1961 tentang Instruksi bagi Kepala Djawatan Akuntan Negara (DAN). Kedudukan DAN dilepas dari Thesauri Jenderal dan ditingkatkan kedudukannya langsung di bawah Menteri Keuangan. DAN merupakan alat pemerintah yang bertugas melakukan semua pekerjaan akuntan bagi pemerintah atas semua departemen, jawatan, dan instansi di bawah kekuasaannya. Sementara itu fungsi pengawasan anggaran dilaksanakan oleh Thesauri Jenderal. Selanjutnya dengan Keputusan Presiden Nomor 239 Tahun 1966 dibentuklah Direktorat Djendral Pengawasan Keuangan Negara (DDPKN) pada Departemen Keuangan. Tugas DDPKN (dikenal kemudian sebagai DJPKN - Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara) meliputi pengawasan anggaran dan pengawasan badan usaha/jawatan, yang semula menjadi tugas DAN dan Thesauri Jenderal. DJPKN mempunyai tugas melaksanakan pengawasan seluruh pelaksanaan anggaran negara, anggaran daerah, dan badan usaha milik negara/daerah. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 1971 ini, khusus pada Departemen Keuangan, tugas Inspektorat Jendral dalam bidang pengawasan keuangan negara dilakukan oleh DJPKN.

Dengan diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tanggal 30 Mei 1983. DJPKN ditransformasikan menjadi BPKP, sebuah lembaga pemerintah non departemen (LPND) yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tentang BPKP adalah diperlukannya badan atau lembaga pengawasan yang dapat melaksanakan fungsinya secara leluasa tanpa mengalami kemungkinan hambatan dari unit organisasi pemerintah yang menjadi obyek pemeriksaannya. Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah telah meletakkan struktur organisasi BPKP sesuai dengan proporsinya dalam konstelasi lembaga-lembaga Pemerintah yang ada. BPKP dengan kedudukannya yang terlepas dari semua departemen atau lembaga sudah barang tentu dapat melaksanakan fungsinya secara lebih baik dan obyektif.

Tahun 2001 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah,terakhir dengan Peraturan Presiden No 64 tahun 2005. Dalam Pasal 52 disebutkan, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pendekatan yang dilakukan BPKP diarahkan lebih bersifat preventif atau pembinaan dan tidak sepenuhnya audit atau represif. Kegiatan sosialisasi, asistensi atau pendampingan, dan evaluasi merupakan kegiatan yang mulai digeluti BPKP. Sedangkan audit investigatif dilakukan dalam membantu aparat penegak hukum untuk menghitung kerugian keuangan negara.

Pada masa reformasi ini BPKP banyak mengadakan Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman dengan pemda dan departemen/lembaga sebagai mitra kerja BPKP. MoU tersebut pada umumnya membantu mitra kerja untuk meningkatkan kinerjanya dalam rangka mencapai good governance.

Sesuai arahan Presiden RI tanggal 11 Desember 2006, BPKP melakukan reposisi dan revitalisasi fungsi yang kedua kalinya. Reposisi dan revitalisasi BPKP diikuti dengan penajaman visi, misi, dan strategi. Visi BPKP yang baru adalah "Auditor Intern Pemerintah yang Proaktif dan Terpercaya dalam Mentransformasikan Manajemen Pemerintahan Menuju Pemerintahan yang Baik dan Bersih".

Dengan visi ini, BPKP menegaskan akan tugas pokoknya pada pengembangan fungsi preventif. Hasil pengawasan preventif (pencegahan) dijadikan model sistem manajemen dalam rangka kegiatan yang bersifat pre-emptive. Apabila setelah hasil pengawasan preventif dianalisis terdapat indikasi perlunya audit yang mendalam, dilakukan pengawasan represif non justisia. Pengawasan represif non justisia digunakan sebagai dasar untuk membangun sistem manajemen pemerintah yang lebih baik untuk mencegah moral hazard atau potensi penyimpangan (fraud). Tugas perbantuan kepada penyidik POLRI, Kejaksaan dan KPK, sebagai amanah untuk menuntaskan penanganan TPK guna memberikan efek deterrent represif justisia, sehingga juga sebagai fungsi pengawalan atas kerugian keuangan negara untuk dapat mengoptimalkan pengembalian keuangan negara.

Sementara itu, berdiri pula aparat pengawas internal di masing-masing kementerian yang disebut Inspektorat Jenderal (Itjen) yang bertugas menyelenggarakan fungsi pengawasan dan pemeriksaan atas pelaksanaan kegiatan administrasi umum, keuangan, dan kinerja; pelaporan hasil pemeriksaan atas pelaksanaan, serta pemberian usulan tindak lanjut temuan pengawasan dan pemeriksaan; pemantauan dan evaluasi atas tindak lanjut temuan pengawasan dan pemeriksaan; serta pengembangan dan penyempurnaan sistem pengawasan.



Sumber:
1.      Rai, I Gusti Agung. 2010. Audit Kinerja pada Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat
2.      www.bpkp.go.id
3.      www.id.wikipedia.org

     Links:

1.      www.depkeu.go.id
2.      www.bpk.go.id
3.      www.stan.ac.id
4.      www.gao.gov
5.      www.oag-bvg.gc.ca
6.      www.rekenkamer.nl
7.      www.vtv.fi
8.      www.anao.gov.au
9.      www.intosai.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar